, , ,

Pesan Wisata dalam Selongsong Ketupat




DEMI menyambut para pemudik yang memasuki Kota Semarang, Komunitas Pegiat Wisata membagikan ratusan selongsong ketupat, Rabu (21/6). Gus Wahid, Koordinator  Pegiat Wisata Kota Semarag menuturkan jika aksi dilakukan di titik masuk kota ini yakni di Kalibanteng.
Dijelaskan, aksi ini dilandasi keinginan menyambut pemudik dengan keramahtamaan. Pasalnya sebagai bagian dari pengembangan dunia pariwisata, dibutuhkan sikap ramah tamah terhadap tamu yang datang.
Sikap ramah dilambangkan dengan pemberian selongsong ketupat untuk kemudian dibawa pulang. Dalam satu paket ketupat tersebut, disertakan pula peta wisata, filosofi ketupat serta beberapa informasi wisata dan hotel di kota ini.
“Filosofi kupat itu kan dikembangkan leluhur kita sebagai ngaku lepat karena kita akan berlebaran. Karenanya, aksi ini khusus ditujukan untuk mereka pengemudi dari luar kota,” terangnya.
Pihaknya berasumsi, para pemudik yang melewati Kalibanteng adalah mereka yang hendak mampir untuk berwisata, menginap atau sekedar berburu kuliner di Semarang. Adapun pemudik yang berbelok ke jalan tol adalah mereka yang hanya sekedar melintas.
Ditambahkan, Pegiat Wisata akan selalu membuat acara unik dan berbeda dengan aksi sosial lain. Hal ini dinilainya akan memberi nilai lebih kepada Semarang sebagai kota yang didukung oleh komunitas dan relawan unik serta kreatif.
“Kali ini kita menggandeng beberapa komunitas lain seperti GenPI Jateng, Denok Kenang, SNC dan Komunitas Masyarakat Peduli Semarang (KMPS). Ini adalah tahun kedua dari aksi serupa yang kami gelar,” tukasnya.
Salah satu pemudik yang melintas di Kalibanteng, Toni Subagjo (38) asal Cirebon mengaku terkejut menerima selongsong ketupat ini. Biasanya, ia hanya menerima takjil sebagai makanan pembuka puasa.
“Ini kon unik ya, aneh. Tapi akan kami bawa pulang untuk kami masak di rumah. Terimakasih,” tuturnya.
Pengemudi lain asal Jakarta yang mengaku hendak ke Surabaya, Riyanti Hapsari (29) berharap sambutan ramah ini dilanjutkan hingga ke destinasi wisata. Dengan demikian para wisatawan akan betah berlama-lama tinggal di Semarang.
“Ini ada peta wisata juga, wow keren. Jika saja di setiap kota yang kami lintasi ada sambutan hangat seperti ini, pasti kami akan semakin mantab berkendara dan mampir di setiap kota yang kami singgahi,” pungkasnya.



Share:
Read More
, ,

Surga Itu Bernama Karimunjawa






KEINDAHAN wisata Pulau Karimunjawa bagi sebagian orang sebenarnya tidak kalah dengan pesona pulau dewata, Bali. Hanya sayang, Karimun kurang tersentuh baik oleh promosi maupun sebagai destinasi.
Tapi tak ada salahnya jika membuktikan sendiri keindahan pulau dan alam bawah Karimunjawa yang juga tak kalah dengan Bunaken. Namun kealamian terumbu karang yang ditawarkan di sini, jauh lebih menggoda untuk didatangi.
Belum lagi tingkat kedalaman dasar lautnya yang cukup dangkal serta arus laut yang tidak terlalu besar. Hal ini tentu akan menambah nikmat wisata anda sembari mencari surga yang hilang di Laut Jawa.
Pulau Karimunjawa
Ini merupakan pulau utama dimana dermaga besar sebagai tempat berlabuh kapal yang hendak berkunjung, bersandar di sini. Ada loket informasi bagi wisatawan yang membutuhkan, terutama bagi mereka yang datang dengan tidak menggunakan jasa biro wisata.
Di pulau ini juga banyak disewakan cottage dan wisma dengan harga yang sangat terjangkau. Jika weekend dan musim liburan, biasanya seluruh penginapan penuh sesak oleh turis sehingga banyak di antara mereka yang harus menginap di pulau lain.
 Pantai Barakuda di salah satu sisi pulau menawarkan pemandangan sunset yang indah ditemani dengan pantai pasir putihnya. Sesekali perahu nelayan akan melintas, baik yang hendak memanen rumput laut ataupun nelayan pencari ikan.
Selain itu, kita juga dapat menyaksikan jajaran mangrove di pulau utama ini, meski belum seluruh area terkover dengan pijakan bambu. Aktivitas warga pulau dimana warga yang bersuku Jawa biasanya berprofesi sebagai tukang kayu dan bertani, sedang suku Bugis sebagai pelaut atau nelayan, juga menarik untuk disaksikan begitupun dengan rumah panggung mereka.
Ada juga makam Sunan Nyamplungan di puncak salah satu bukit, dapat menjadi referensi untuk berwisata sejarah di sini.
Pulau Menjangan Besar
Di pulau ini, anda akan mendapati atraksi bawah laut yang mendebar, berenang bersama ikan hiu. Ya, ikan yang dikenal ganas ini ternyata justru ditangkarkan oleh nelayan di pulau ini, dimana salah satu jenisnya adalah hiu barakuda.
Ini merupakan daya tarik utama bagi para turis yang bernyali besar. Meski demikian, bisa dipastikan jika hiu di tempat ini cukup jinak dan tidak akan menggigit layaknya di film-film.
 Ada juga penangkaran penyu sisik. Jika sedang beruntung dan sedang musim kawin, anda dapat juga berpartisipasi melepas tukik (anak penyu) ke laut.
Penangkaran elang Jawa juga akan menjadi pemandangan indah di Pulau Menjangan Besar ini. 




Pulau Cemara Besar
Inilah lokasi snorkeling dan diving paling indah di Kepulauan Karimunjawa. Gugusan atol (pulau karang) yang dangkal, justru membuat para penyelam menyukai keindahan bawah lautnya. Selain itu, atol juga melindungi dari terpaan ombak dan angin, sehingga sangat pas digunakan untuk penyelaman.
Pemandangan bawah laut di sini memang mengagumkan. Terumbu karang dan ikan-ikan yang biasa hdiup di karang dan memiliki keindahan warna kulit, hidup bebas berkeliaran. Terumbu karang membentuk susunan dan makin ke permukaan ketika mendekati atol di sekeliling pantai.
Sayangnya beberapa karang terlihat rusak. Menurut penuturan sejumlah penyelam, yang justru sering merusak karang di sini adalah jangkar dari kapal yang membawa turis untuk diving atau snorkling di seputaran karang itu.
Untuk yang hobi diving, ada spot yang menarik di sekitar Pulau Kemojan, tidak jauh dari situ. Di tempat itu terdapat bangkai kapal Panama INDONO yang tenggelam pada tahun 1955, dimana lokasi itu justru menjadi habitat ikan karang dan cocok untuk lokasi penyelaman (wreck diving).
Lepas dari obyek yang sudah tersebut di atas, sebenarnya masih banyak pesona lain dari Karimunjawa yang belum diungkapkan. Ibarat surga, Karimunjawa masih perlu disingkap keindahan dan ditelusuri satu persatu lekuknya.
Waktu berkunjung sehari dua hari, sepertinya belum akan cukup untuk mencerna semua keindahan di pulau ini.

Share:
Read More

Menikmati Bubur India di Kampung Koja



RATUSAN mangkuk itu berjajar rapi, seakan menanti untuk dinikmati. Sementara di dalam bangunan utama, puluhan orang bersila rapi mendengarkan tausiah dari ustadz sembari menunggu datangnya bedug Magrib.
Saat dinantipun tiba. Alunan adzan sebagai tanda diperbolehkannya umat Islam yang sedang berpuasa untuk berbuka, mulai terdengar. Tak berapa lama, tatanan mangkuk itupun mulai berkurang satu persatu.
Tidak hanya jamaah yang ada di dalam masjid, yang baru saja datang juga langsung menyantap ‘bubur India’ yang disajikan dalam mangkuk plastik tersebut. Sebenarnya bukan murni bubur India.
Pasalnya, bubur yang terbuat dari beras dengan bumbu bawang merah dan bawang putih serta jahe dan lengkuas tersebut, bentuk dan rasanya tidak  jauh beda dengan bubur beras yang biasa kita santap. Hanya saja rasanya jauh lebih gurih dan nikmat, entah karena perut yang seharian kosong atau memang rasa buburnya yang lezat.
Terlebih, keberadaan sayur lodeh dan sepotong telur dadar semakin menambah kenikmatan berbuka. Menurut Ahmad Ali, seorang pengurus Masjid Jami Pekojan, setiap hari pihaknya menyediakan sekitar 200 hingga 300 mangkuk bubur.
Bahan baku beras yang dimasaknyapun minimal 10 kilogram per hari, itupun akan bertambah seiring bertambahnya jamaah  menjelang akhir bulan Puasa. “Tradisi ini mungkin sudah berlangsung sekitar 100 tahun, pasalnya saya adalah generasi ketiga yang menyiapkan bubur ini untuk para warga dan musafir,” terangnya.
Mengenai sebutan bubur India, Ali mengacu pada keberadaan masjid yang merupakan peninggalan orang-orang Koja yang merupakan campuran India dan Arab, sehingga untuk gampangnya, masyarakat menyebutnya dengan bubur India.
Sebuah pengalaman unik menjadi pelengkap, dimana saat itu sebuah sponsor menawarkan untuk menyediakan makanan pengganti bubur yakni lontong dan sate ayam berapapun jumlah jamaah. Namun yang ada, baru satu hari berlangsung kegiatan tersebut terhenti.
“Tidak ada bau mistis atau yang aneh-aneh, hanya saja para jamaah merasa kurang biasa berbuka dengan makanan yang berat seperti nasi atau lontong. Mereka sudah terbiasa makan bubur yang cukup ringan di perut,” lanjut Ali.
Keistimewaan lain dari bubur ini adalah meski sudah diangkat ke dalam mangkuk dan dibiarkan selama berjam-jam bahkan hingga saat sahur tiba, buburnya masih tetap gempi dan tidak berair. Beda dengan bubur biasa yang akan segera mengeluarkan air bila dibiarkan dingin.
Sekali lagi, hal itu bukanlah sebuah kejadian mistis atau aneh. Pasalnya, pihaknya selalu memasak bubur sekurangnya dua jam, mulai bakda Duhur hingga menjelang Ashar, sehingga wajar bila buburnya lebih kenyal dan tahan lama.
Ingin mencoba? Silakan coba dan nikmati bubur India di Masjid Jami Pekojan di jalan Petolongan 1 Semarang. Selain gratis juga bisa dinikmati siapapun termasuk penarik becak, pedagang keliling bahkan musafir dan warga sekitar.


 
Ratusan mangkuk Bubur India siap disantap warga dan musafir yang hendak berbuuka puasa di Masjid Pekojan.


Share:
Read More
, , , ,

Teng-tengan, Bukti Akulturasi Budaya Yang Terpinggirkan



 


KOTA Semarang memang kaya dengan budaya akulturasi. Budaya peranakan ini bahkan sudah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat, melebur dalam keseharian. Salah satunya adalah teng-tengan.

Selain ikon warak ngendog, makanan lumpia ternyata masih ada satu lagi warisan budaya hasil akulturasi. Namanya adalah lampion teng tengan yang mungkin sudah banyak dilupakan warga.
Menurut perajina teng-tengan Junarso dari Purwosari Perbalan, lampion ini hanya diproduksi saat Bulan Ramadan. Awalnya lahir sekitar tahun 1942 yang digunakan warga setempat untuk menuju tempat solat.
“Pada saat itu wilayah Purwosari sangat gelap sehingga warga yang akan ke musola harus membawa obor. Lalu agar anak-anak senang ke masjid atau musala, maka dibuatkan obor yang bisa untuk mainan dan jadilah tengtengan ini,” terangnya.
Tentengan sendiri bukan lampion seperti kebanyakan karena ia memiliki karakter khusus yakni munculnya gambar-gambar dari balik nyala obor. Terbuat dari kerangka bambu bersegi empat atau delapan, pada bagian dalam akan ditempel potongan kertas berbagai motif seperti ikon kota, binatang hingga pesawat terbang.
Menariknya, jika lilin yang berada di bagian tengah dinyalakan, udara panas akan memutar bagian dalam itu, sehingga potongan kertas berbagai bentuk itu berputar dan memberi bayangan pada sisi luar. Karenanya, lampion model tengtengan sangat akrab di hati anak-anak terutama yang lahir pada tahun 1980-an.
“Harganya hanya Rp15 ribu dimana dalam satu hari saya mampu membuat sekitar 100 buah atau sesuai pesanan. Sudah cukup jarang sekarang yang memesan tengtengan ini,” tukas Junarso.
Akulturasi Budaya
Budayawan Semarang Djawahir Muhammad menyebut bahwa tengtengan merupakan hasil akulturasi budaya. Di sana ada budaya Arab, Jawa dan China dari sisi lampionnya.
Lampion ini sendiri sering disebut sebagai dammar kurung atau dian kurung (lampu yang dikurung kertas minyak) dimana nama tengtengan bisa merujuk pada dua hal. Pertama, karena lampion Semarang itu dibawa dengan ditenteng sehingga lama-lama pengucapan berubah menjadi tengtengan
“Kedua, nama tengtengan merujuk pada kosa kata ting yang berarti lampu dan sampai sekarang masih dilestarikan di Solo. Karena berbeda maka disebut ting-tingan atau ting mainan. Lama-lama berubah menjadi tengtengan,” ungkapnya.






Share:
Read More